Gelapkan Aset, Salim Grup Diadukan ke Mabes Polri

BANDAR LAMPUNG--MIOL: Diduga gelapkan aset, Salim Grup diadukan Gunawan Yusuf, bos PT Garuda Panca Artha (GPA), ke Mabes Polri.Kelompok Usaha Salim (Salim Grup)dinilai melanggar Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) terkait penggelapan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) senilai Rp1,2 triliun.Hal itu diungkapkan pengacara Gunawan Yusuf, Hotman Paris Hutapea, kepada pers di Bandar Lampung, Sabtu (23/12).
"Akta jaminan yang dibuat Anthoni Salim adalah fiktif. Ini berdasarkan pengakuan saksi-saksi yang diperiksa Mabes Polri," kata Hotman.Hotman mengungkapkan kepada pers berkaitan pemeriksaan Gunawan Yusuf, salah satu direktur PT GPA oleh Mabes Polri.Menurut Hotman, Gunawan Yusuf dimintai keterangan oleh Bareskrim Mabes Polri sebagai saksi yang melaporkan pelanggaran MSAA oleh pimpinan Salim Grup. Gunawan melaporkan kasus tersebut ke Mabes Polri pekan lalu.Ia menyebutkan penyerahan aset dalam rangka MSAA, sebagai ganti pembayaran utang Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) Salim Group kepada pemerintah. Dalam perjanjian itu, Salim Group bersedia menyerahkan 140 perusahaan miliknya dan menyatakan sudah tidak lagi mempunyai harta kekayaan apa pun.Pada 2001, BPPN melelang Salim Group Companies (SGC), salah satu dari 140 perusahaan yang diserahkan ke BPPN. Lelang tersebut dimenangkan GPA.
Namun belakangan diketahui bahwa selama dikuasai BPPN, Salim Group diduga telah menggelapkan tanah milik SGC dengan menggunakan nama PT Indolampung Buana Makmur dan PT Indolampung Cahaya Makmur.Selain itu, ujar dia, Salim Group dan pihak lain diduga menggunakan akta palsu dengan tujuan melakukan penjaminan fiktif atas aset-aset SGC. Padahal terhitung sejak 21 September 1998, pihak yang berwenang melakukan tindakan hukum dan terutama pengalihan aset SGC adalah pemerintah. "Salim Group tidak berwenang menjaminkan aset/harta kekayaan SGC yang dalam penguasaan dan milik negara (BPPN) kepada Marubeni Corporation," kata Hotman.SGC terdiri dari PT Gula Putih Mataram, PT Sweet Indolampung, PT Indolampung Perkasa, dan PT Indolampung Distillery, yang berlokasi di Kabupaten Tulangbawang dan Lampung Tengah.Hotman menegaskan apa yang dilakukan pimpinan Salim Grup merupakan penipuan dan pemalsuan jaminan aset dengan cara menggembosi. "Perbuatan mereka melanggar Pasal 266 KUHP tentang keterangan palsu dan Pasal 263 jo Pasal 264 KUHP tentang menggunakan akta otentik palsu sebagai upaya menghilangkan harta kekayaan perusahaan yang telah diserahkan Salim Group kepada negara," katanya.
Gunawan Jusuf, kata Hotman, adalah pemenang lelang atas aset SGC berupa lahan kebun tebu, hak guna usaha dan hak guna bangunan di atas tanah. Namun, semuanya itu telah digelapkan Salim Group.Salim Group tahun 1999-2000 juga disinyalir bersekongkol dengan pihak lain, yakni secara tanpa hak dan kewenangan yang sah (melanggar Pasal 372 KUHP), membuat jaminan rekayasa atas tanah, pabrik dan mesin yang menjadi milik pemerintah kepada pihak lain, termasuk menyembunyikan tanah-tanah SGC dengan menggunakan nama perusahaan rekayasa dari perusahaan tersebut, tapi pemilik sebenarnya Salim Group.Tanah SGC itu antara lain berlokasi di Gunung Tapa, Teladas, Gedung Menteng (Lampung) yang seolah-olah diterbitkan menggunakan nama PT Indolampung Cahaya Makmur. (IH/Ol-03) Media Indonesia 23 des 2006

Yang Dicatut dan Dikecam...

LAPORAN temuan organisasi nonpemerintah, Transparency International Indonesia (TII) dan Indonesia Corruption Watch (ICW), mencatat ada dugaan sejumlah penyumbang fiktif untuk pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Laporan itu juga menyebutkan terdapat modus meminjam nama, menggunakan nama fiktif, atau indikasi sejumlah sumbangan dipecah menjadi beberapa nama, baik perorangan atau perusahaan, dengan maksud menyiasati aturan batas maksimal jumlah sumbangan. Kejadian nama yang dicatut dialami Arsyad Kasmar, salah seorang pengusaha perkebunan kelapa sawit asal Sulawesi Selatan. Dalam daftar penyumbang dana kampanye di atas Rp 5 juta, yang dipublikasikan KPU lewat situs internetnya, Arsyad didata menyumbang uang sebesar Rp 100 juta dengan nomor daftar penyumbang 321.
Saat ditemui Kompas di rumahnya, Arsyad mengaku kaget ketika seorang kerabatnya memberi tahu dirinya tercatat sebagai salah seorang penyumbang dana kampanye untuk pasangan kandidat Megawati-Hasyim. Kerabat dekatnya itu mengaku tahu dari situs resmi KPU tersebut.
"Saya tidak pernah merasa menyumbang uang sejumlah itu. Uang sebanyak itu saya tidak punya. Kalaupun mau dan sanggup menyumbang, jelas saya tidak akan gunakan untuk itu (dana kampanye). Karena terdata itulah saya mendapat tekanan dan sampai dicap pengkhianat," ujar Arsyad, yang juga fungsionaris Partai Golkar. Kecaman dan pertanyaan bermunculan dari para rekan sejawatnya. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar di kota asalnya, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Arsyad mengaku sempat ditanya oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar dan DPD Partai Golkar Provinsi Sulawesi Selatan.
"Mereka mempertanyakan mengapa saya menyumbang dana kampanye justru bertentangan dengan garis partai. Sebagai kader Partai Golkar seharusnya kan saya mendukung kandidat Wiranto-Wahid. Saya merasa difitnah dengan kejadian itu. Akhirnya saya membuat surat pernyataan tidak pernah menyumbang," tambah Arsyad. Sampai saat ini pun Arsyad mengaku tidak tahu bagaimana nama dan alamatnya bisa sampai dicantumkan seperti itu. Kalaupun memang benar dirinya menyumbang, Arsyad mengatakan pasti akan ada pemberitahuan atau setidaknya ucapan terima kasih dari pihak yang disumbang. "Saya justru tahu dari saudara saya itu. Kemudian saya menyuruh anak saya untuk mengeceknya di internet dan memang benar ada nama saya di situ. Saya membuat surat pernyataan karena tidak tahan jika disebut sebagai pengkhianat," ujar Arsyad.
Walau mengaku tidak berani mengonfirmasi, baik ke KPU maupun ke Tim Sukses Megawati-Hasyim, Arsyad mengaku hingga saat ini masih mencoba mencari tahu siapa orang yang mencatut namanya. Arsyad juga mengaku sungkan untuk mendatangi KPU dan Tim Sukses Megawati-Hasyim karena khawatir justru malah akan menimbulkan masalah baru. Temuan serupa juga diperoleh Kompas ketika mencoba menghubungi Iwan Setiawan yang beralamat di Jalan Buncit I/ 40, Jakarta Selatan. Saat didatangi, alamat tersebut ternyata milik sebuah perusahaan periklanan, PT Gopala, yang sudah sejak empat tahun lalu mengontrak rumah di daerah itu. Iwan terdata oleh KPU telah menyumbang dana sebesar Rp 75 juta untuk pasangan kandidat Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Dari keterangan salah seorang pegawai Dody Sutanto, Iwan memang diketahui beberapa kali datang ke kantor tersebut. Keberadaan Iwan di sana, tambah Dody, lantaran memiliki hubungan dengan pimpinan PT Gopala.
"Biasanya Iwan datang meminjam bendera perusahaan untuk mencari atau menerima proyek. Kalau sedang ada pekerjaan, Iwan datang kesini. Biasanya tidak lama. Terakhir datang ke kantor kami sekitar lima bulan lalu. Setelah itu saya tidak pernah bertemu lagi," ujar Dody. Dody mengaku tidak tahu pasti apakah Iwan memang pernah menyumbang dana untuk kampanye pasangan kandidat tertentu. Selain itu Iwan juga, menurut Dody, tidak diketahui pasti di mana tempat tinggalnya. Dody hanya tahu Iwan berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. ANGGOTA Tim Hukum Kampanye Megawati-Hasyim, Trimedya Panjaitan, yang dihungi terpisah mengatakan pihaknya sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Ia sadar betul bahwa sumbangan dari masyarakat dan perusahaan mempunyai implikasi hukum. Bahkan, tim Mega sangat memerhatikan rekam jejak dari perusahaan yang ikut memberikan sumbangan. "Jadi, kami sangat hati-hati. Dengan prinsip itu, saya yakin semuanya klir, enggak ada yang fiktif," kata Panjaitan yang mengatakan sejauh ini belum ada teguran dari Panwas mengenai hal itu. "Kita tunggu saja," kata Panjaitan.
Hal serupa disampaikan salah seorang sekretaris tim kampanye Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Sofyan Djalil, yang dihubungi Kompas hari Selasa (3/8). Ia mengatakan, sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam pencatatan nama atau pencantuman alamat penyumbang. "Tetapi, itu semata-mata kekeliruan teknis, tak ada niatan untuk sengaja menutup-nutupi," ujarnya. Sofyan juga mengatakan, pihaknya justru berterima kasih kepada ICW dan TII. "Kalau laporan itu telah kami terima, kami akan melakukan verifikasi ulang terhadap nama-nama penyumbang yang disebutkan ICW. Jika memang penyumbang tak bisa kita verifikasi, sesuai dengan undang-undang, dana itu akan diserahkan kepada kas negara. Kita akan lakukan itu," katanya. Pengembalian kepada kas negara, menurut Sofyan, telah dilakukan timnya terhadap penyumbang-penyumbang kecil yang dikirimkan melalui ATM. (dwa/bdm) kompas 6 agts 2004

Diduga Ada Dana Kampanye Fiktif

Mega Rp 11 Miliar, SBY Rp 2,5 Miliar
JAKARTA- Penyumbang dana kampanye dua pasangan capres dan cawapres, yakni Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-Kalla) dan Megawati-Hasyim Muzadi yang ditetapkan KPU Pusat lolos ke Putaran II, diindikasikan ada yang fiktif. Demikian dikemukakan perwakilan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) dalam keterangan pers bersama di Media Center KPU, kemarin. Sebelum memberikan keterangan pers di Media Center KPU, baik ICW maupun TII melaporkan kasus ini kepada Panwas Pusat. Menurut Lucky Djani dari ICW, dalam daftar data penyumbang dana masing-masing pasangan calon, ditemukan 13 nama dan alamat donatur yang diduga ''fiktif.'' Beberapa indikasinya antara lain pemberi dana mencantumkan nama dan alamat yang tidak jelas setelah ditelusuri oleh kedua lembaga tersebut.
''Malah, ada satu orang menggunakan beberapa nama dengan alamat sama. Selain itu, ada nama perusahaan yang benar-benar fiktif. Bahkan ada nama penyumbang tapi setelah dicek langsung ke lokasi rumah sesuai yang tertera, ternyata nama tersebut tidak pernah ada,'' kata Lucky. Dana dari penyumbang fiktif, menurut Lucky Djani, untuk pasangan Megawati-Hasyim Rp 11 miliar. Sedangkan dana dari penyumbang fiktif untuk pasangan SBY-Kalla Rp 2,5 millar. Di pihak lain Ahsan Jamet Hamidi dari TII mengatakan, setelah melakukan klarifikasi, TII menemukan penyumbang dana bernama Lestari (20) menyumbang Rp 100 juta. Berdasarkan foto gadis tersebut dan kondisi lingkungannya, patut dilakukan klarifikasi kebenaran gadis tersebut menyumbang pasangan calon.
Oleh karena itu, dia meminta kepada KPU untuk bersikap tegas agar menunda penetapan pencalonan dua pasangan presiden dan wakil presiden sebelum mereka melakukan klarifikasi dana fiktif. Baik Lucky Djani maupun Ahsan Jamet Hamidi mengingatkan bahwa audit yang sesuai dengan ketentuan dana kampanye, seperti diatur dalam Pasal 45 UU Nomor 23 Tahun 2003 perlu dilakukan demi mewujudkan akuntabilitas pengelolaan dana kampanye pemilu. Dengan kata lain, kredibilitas laporan audit dana kampanye tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. ''Walaupun demikian, kami memahami pelaksanaan audit, terutama akuntan publik yang ditugasi KPU yang dihadapkan pada beberapa keterbatasan,'' kata Lucky. Keterbatasan tersebut, lanjutnya, mencakup pembuktian mengenai keaslian, keabsahan, dan kelengkapan, serta kemungkinan adanya masalah hukum yang terdapat dalam dokumen yang diperiksa.
''Analisis ini kami buat dalam rangka membantu KPU menginterpretasikan hasil audit dana kampanye. Sebab, audit untuk mengetahui besarnya sumbangan yang diterima oleh masing-masing pasangan calon yang dapat dikategorikan tidak jelas identitas penyumbangnya, kemudian ditindaklanjuti KPU dengan melakukan investigasi lebih lanjut.''
Salon Kecantikan
Terungkap pula, dalam daftar penyumbang pasangan capres-cawapres SBY-Kalla, salah satu penyumbangnya adalah PT Megah Pratama Murni dengan alamat Jalan Sulawesi 2, Palu dengan sumbangan sebesar Rp 50 juta. Dari hasil investigasi, ternyata alamat tersebut adalah salon kecantikan kecil yang bernama Salon Kecantikan Grace. Dua nama penyumbang dana SBY-Kalla yang diduga fiktif lain yang disampaikan TII dalam jumpa pers adalah PT Bunga Cengkeh Abadi dan M Anshar. PT Bunga Cengkeh Abadi yang beralamatkan di Jalan Sulawesi Nomor 20 Palu menyumbang Rp 200 juta. Dari hasil investigasi TII, ternyata di alamat tersebut tidak pernah ada perusahaan yang bernama PT Bunga Cengkeh Abadi. Sementara M Anshar diduga sebagai penyumbang fiktif karena di alamat yang digunakan M Anshar, yaitu Jalan Wahidin Nomor 28 Palu ternyata toko bangunan. Pemilik toko tidak mengenal M Ashar.
Untuk penyumbang dana kampanye pasangan Mega-Hasyim yang diduga fiktif, TII telah melakukan investigasi terhadap 10 nama. Lima nama adalah penyumbang pribadi (individu) dan lima nama lainnya atas nama perusahaan. Penyumbang individu yang diduga fiktif adalah pertama, Drs H Mulyadi (Rp 100 juta) yang bekerja di PT Mulia Keramik (Cikarang). Direktur PT tersebut adalah Joko Chandra, pemilik Menara Mulia. Kedua, Arsyad Kamar (Rp 100 juta) menggunakan alamat mertuanya di Cipinang Baru Utara No. 25 Jakarta Timur. Arsyad ternyata anggota Golkar. Ketiga, Lei Budi Santoso Librata (Rp 100 juta). Dari hasil investigasi, Lei Budi bekerja di perusahaan keramik yaitu Mulia di Cikarang. Keempat, Imam S yang menyumbang Rp 75 juta. Kelima, Siwi Lestari remaja berusia 20 tahun yang menyumbang Rp 100 juta.
Sedangkan untuk perusahaan yang diduga fiktif adalah pertama, CV Maladang Putra, penyumbang Rp 750 juta. Kedua, PT Arbarie, penyumbang Rp 750 juta. Ketiga, PT Friza Ausindo Reverland menyumbang Rp 750 juta. Keempat, adalah empat perusahaan dengan satu alamat yaitu PT Kamparindo Industries menyumbang Rp 500 juta, PT Dexter Kencana Timber menyumbang Rp 200 juta, PT Yos Raya Timber menyumbang Rp 100 juta, PT Rokian Timber Corporation menyumbang Rp 200 juta. Keempat, perusahaan tersebut beralamatkan di Jalan Setiabudi Nomor 206 Pekanbaru. Perusahaan penyumbang kelima yang diduga fiktif adalah PT Industries Et Forest Asiatiques, sebuah perusahaan HPH yang beralamatkan di Jalan Urip Sumohardjo No 31 Jambi. (bn-87r) sumber: suara merdeka

L/C Fiktif Disetujui BNI Pusat

Klarifikasi Kacab yang Dipecat
SEMARANG- Mantan Kepala Cabang (Kacab) BNI Magelang Tuti Andrasih mengemukakan, pihaknya menyetujui letter of credit (L/C) senilai 7,5 juta dolar AS setelah mendapat persetujuan dari Divisi Internasional Bank BNI Pusat. Oleh kantor pusat, L/C tersebut dinyatakan tidak bermasalah dan layak untuk dicairkan. "L/C-nya setelah dicek oleh kantor pusat secara teliti memang asli dan sudah diperiksa dengan perangkat canggih yang dimiliki BNI. Artinya, kalau kantor pusat meneruskan ke cabang berarti tidak ada masalah," ungkap dia didampingi mantan Manajer Operasional BNI Magelang Indarto Kusumo di kantor Suara Merdeka Jalan Kaligawe, kemarin. Seperti diberitakan (SM, 14/1), Dirut BNI Sigit Pramono memecat Tuti Andrasih dan Indarto Kusumo terkait dengan kasus pembobolan dengan modus L/C senilai Rp 24 miliar. Saat kasus terjadi pada periode Februari-Desember 2003, keduanya masih menjabat sebagai kepala cabang dan manajer operasional.
Tuti mengatakan, pihaknya sebelumnya juga tidak mengetahui jika dokumen ekspor yang digunakan dalam proses mendapatkan L/C ternyata palsu. Itu baru diketahuinya setelah dicek oleh tim dari Kanwil Jateng dan Pusat di Tanjungpriok yang ternyata tidak ada kegiatan ekspor sebagaimana tertera di dokumen L/C. Pengecekan dilakukan pada akhir 2003. "Dari sinilah kemudian saya baru menyadari, bahwa ada kesalahan, kami telah ditipu oleh eksportir tersebut. Dalam hal ini saya merasa dijebak, padahal awalnya orangnya baik," ujar dia.
Berusaha Menagih
Meski demikian, dia bersama tim di BNI Magelang terus berusaha menagih agar kreditnya bisa terbayar. Upaya itu membawa hasil. Dari 11 dokumen senilai Rp 7,5 juta dolar AS yang telah dicairkan, sudah terbayar 4,3 juta dolar AS. Sisanya, 3,6 juta dolar AS, belum terbayar.
"Pada 22 Oktober 2003, saya ditelepon Biro Hukum BNI bahwa ada outstanding 3,6 juta dolar AS belum terbayar," jelasnya. Dia mengungkapkan, jumlah nilai tersebut terdiri atas lima dokumen. Perinciannya, 1 dokumen jatuh tempo pada November 2003, 2 dokumen jatuh tempo Februari 2004, dan 2 dokumen jatuh tempo Maret 2004. Dengan berbagai cara, timnya dapat menagih kredit 500.000 dolar AS. Dengan demikian, ungkap dia, jumlah yang belum terbayar hingga sekarang Rp 3,1 juta dolar AS atau lebih kurang Rp 21 miliar (bukan Rp 24 miliar seperti diberitakan sebelumnya). Adapun waktu jatuh tempo pembayaran L/C tersebut adalah Februari dan Maret mendatang. "Saya juga tidak tahu, kenapa masalah ini dilaporkan ke polisi, sedangkan kami masih berusaha keras agar eksportir segera menyelesaikan kewajibannya."
Padahal, lanjut Tuti, eksportir dari PT PC dengan perusahaan terkait, yakni PT MT, PT PK, dan PT GP berjanji menyelesaikan kewajiban paling lambat akhir Januari ini. "Karena kasusnya sudah ditangani polisi, dokumen ekspor diblokir. Ini menjadikan dilema bagi saya, pada sisi lain mereka (eksportir-Red) mau menyelesaikan, namun pada sisi lain dokumennya tidak bisa keluar karena sudah ditangani polisi," jelasnya. Lebih jauh dia menjelaskan, setelah mendapat kabar dari Biro Hukum pada Oktober 2003, pihaknya langsung mengamankan jaminan dengan membuat surat hipotek senilai Rp 30 miliar dan dengan diikat hak tanggungan Rp 28 miliar. "Jadi sebelum ini terjadi, kami telah mengambil alih dokumen surat pernyataan untuk menjaminkan harta bendanya. Klausul itu kemudian kami hipotekkan. Dasarnya, surat-surat dan sertifikat atas tanah dan bangunan di sejumlah tempat di Jakarta sudah dicek dan benar adanya."
Bila melihat jaminan tersebut, dia menjelaskan, sebenarnya masih lebih besar dari nilai utang yang belum terbayar. "Saya sampai sekarang juga tidak tahu kenapa dilaporkan ke polisi," ujarnya. Ketika didesak nama pengusaha eksportirnya, Tuti belum bersedia menyebutkan. "Saya harus minta izin dengan mereka, kalau tidak nanti saya salah lagi." Tuti membantah, jika nasabah eksportir yang kini membuat dia bermasalah ada kaitannya dengan perusahaan yang terlibat kasus L/C fiktif di BNI Cabang Kebayoran Baru Jakarta. "Dia (eksportir-Red) memang pernah bekerja sama dengan perusahaan yang terkait kasus di BNI Kabayoran Baru, tetapi saat menjadi nasabah kami sudah berdiri sendiri," jelasnya.
Terlacak Lagi
Sementara itu, satu lagi perseroan terbatas (PT) fiktif yang digunakan untuk membobol Bank BNI Cabang Magelang Rp 24 miliar, terkuak identitasnya. Yaitu, PT Gema Usaha Putra Jawa (GUPJ) yang beralamat di Jl Raden Saleh 1, Kelurahan Potrobangsan, Kota Magelang. Kelihatannya alamat ini dipakai pula untuk kantor PT Maestro Interbuana (MI) yang juga perusahaan fiktif seperti yang diungkapkan sumber Suara Merdeka, beberapa hari lalu. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan satu alamat dipakai untuk dua kantor. Sebuah perusahaan fiktif lagi yang sudah terungkap identitasnya adalah PT Prasetya Cipta Tulada (PCT) yang beralamat di Jl Pahlawan 16, Prajenan, Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Dengan demikian, tinggal sebuah PT lagi yang hingga sekarang belum terkuak identitasnya. Munculnya nama PT GUPJ setelah Suara Merdeka berhasil menghubungi pengelola rumah di Jl Raden Saleh 1. Rumah itu ternyata milik Yayasan Kesehatan Kristen untuk Masyarakat Umum (Yakkum). "Yang menyewa rumah bukan PT MI, melainkan PT GUPJ," ujar Ketua Yakkum, Darto BA, Rabu kemarin.
Pernah Ditegur
Ternyata yang menjabat Direktur PT GUPJ sama dengan Direktur PT PCT yakni Hikmat Subiadinata (37). Kemungkinan dia pula yang menjabat sebagai Direktur PT MI ataupun direktur sebuah perusahaan fiktif lainnya yang belum terungkap identitasnya. Yang berbeda antara PT GUPJ dan PT PCT hanya alamat direkturnya. Ketika mengontrak rumah untuk kantor PT PCT, Hikmat Subiadinata beralamat di Plaza GRI 14 th Floor, Jl HR Rasuna Said Blok X-2 No 1 Jakarta. Saat menandatangani kontrak sewa rumah untuk kantor PT GUPJ, dia beralamat di Jl Pejompongan III/1, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Darto menerangkan, rumah milik Yakkum itu disewa selama setahun mulai 16 Mei 2003 hingga 15 Mei 2004 dengan harga Rp 8 juta. Penandatanganan perjanjian sewa-menyewa dilakukan di depan notaris Elizabeth Sri Murtiwi. "Saya belum pernah ketemu dengan Hikmat karena yang menangani karyawan Yakkum," tuturnya. Mulanya Darto mendapat laporan dari karyawan tersebut, rumah di Jl Raden Saleh 1 akan disewa untuk kantor sebuah perusahaan. Urusan tersebut diserahkan kepada bawahannya itu. Karena tidak pernah bertemu Hikmat, Darto tidak tahu rumah itu akan dipakai untuk kantor perusahaan apa. "Yang saya heran, rumah sudah disewa kok kosong terus, tidak ada kegiatan," ujarnya.
Setelah kasus bobolnya Bank BNI Magelang dimuat surat kabar, baru dia tahu rumah itu ternyata dikontrak sebagai kantor perusahaan fiktif. Sementara itu, Ketua RT 2 RW 1 Kelurahan Potrobangsan Drs Edy Sutrisno menerangkan, rumah itu ramai pada Juni - Juli 2003. Namun ruangan dalam rumah dibiarkan kosong tanpa perabotan. Yang ada hanya sebuah lemari estalase aluminium. "Sebagai Ketua RT, saya pernah menegurnya karena sudah beberapa hari tidak melaporkan kepindahannya.
Ketika saya tanya mau dipakai untuk apa rumah ini, salah seorang penghuni mengatakan, untuk berjualan handphone. Heran saya, mau membuka usaha kok tidak mengurus surat-surat seperti HO dan sebagainya. Kalau mau mengurus izin dia kan harus minta surat pengantar dari saya sebagai Ketua RT." Sesudah bulan Juli rumah itu mulai sepi. Lemari etalase aluminium juga sudah tidak kelihatan lagi. Penjagaan rumah kosong itu diserahkan kepada seorang penunggu. Diduga karena tidak dibayar, penjaga rumah lalu menghilang. "Sejak awal saya sudah curiga, mau usaha handphone kok tidak buka-buka. Lemari etalase juga tidak nambah, sejak awal cuma satu terus. Jadi keadaannya sejak awal memang sudah janggal," tegasnya. Kalau digunakan untuk kantor sebuah PT, tambah Edy, papan namanya kok tidak dipasang dan tidak ada karyawan yang bekerja setiap hari seperti layaknya sebuah perusahaan. (G2,P60-23,33jn) sumber: suara merdeka

Sekar Telkom Dirve IV Tuding Alberta sebagai Perusahaan Fiktif

11 Desember 2003
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Serikat Karyawan (Sekar) PT Telkom divre IV Jawa Tengah dan Yogyakarta menuding PT Alberta Telecomunnication sebagai perusahaan fiktif. Sekarpun menuding Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Zamhari Sirat, menghalang-halangi usaha Sekar memperjuangkan kepemilikan PT Mitra Global Telecomunnication Indonesia, Mitra KSO Divre IV. Ketua Sekar Telkom Divre IV Jawa Tengah dan Yogyakarta, Sahrul Ahyan mengatakan hal itu dalam unjuk rasa yang dilakukan hari ini, Kamis (11/12) di Departemen Perhubungan. Anggota Sekar yang berunjuk rasa diterima Kepala Bagian Umum dan Humas Departemen Perhubungan, Wahyu Setio Utomo dan Staf Ahli Menteri Perhubungan, Zulkarnain Uyup. Menteri Perhubungan, Agum Gumelar sedang berada di Vietnam. Sebagai ketua Koni, ia mendampingi atlet-atlet Sea Games yang sedang bertanding di negeri tersebut.
Pertemuan yang berlangsung hampir satu jam itu membahas keluhan Sekar atas penjualan PT MGTI kepada PT Alberta. Menurut Sekar, pengalihan PT MGTI ke PT Alberta meninggalkan banyak ketidak beresan dalam proses kerja sama pengalihan aset yang nilainya mencapai US $ 266 juta. Menurut Sekar, negara dan Telkom akan dirugikan US $ 15 juta per tahun dengan penjualan tersebut. Mereka meminta Menteri Perhubungan Agum Gumelar menjadi fasilitator antara sekar Divre IV, Meneg BUMN, dan direksi PT Telkom. Tapi, menurut Sahrul pihak Telkom sepertinya enggan bertemu dengan mereka. “Kita buktikan apakah transaksi itu bersih dari korupsi. Kalau ya, kami akan mendukung transaksi tersebut,” kata Sahrul. Sahrul menuding Zamhari Sirat, Dirjen Postel dan juga direksi Telkom menunda, bahkan menolak melakukan pertemuan. Bisa jadi, kata Sahrul, Agum Gumelar diberi data fiktif oleh dirjennya yang juga komisaris Telkom.
Sahrul juga menuduh Alberta sebagai perusahaan fiktif. Mereka sudah melakukan riset mengenai perusahaan ini dan menemukan bahwa Alberta sama sekali tidak ada. Alberta hanya meminjam bendera, menjadi anak perusahaan, sebuah perusahaan telekomunikasi di Singapura. “Alberta hanya perusahaan akal-akalan yang digunakan untuk transaksi siluman. Coba saja lihat dalam aktenya, perusahaan ini tidak punya modal,” kata Sahrul meyakinkan. Sekar Divre IV melakukan unjuk rasa yang dihadiri sekitar 2.000 karyawan Telkom Mereka menggunakan 60 bus pariwisata. Unjuk rasa dimulai sekitar pukul 11.00 WIB dan berakhir bertemu dengan pejabat departemen perhubungan.
Listi Fitria - Tempo News Room

Pansus RUU PT DPR Diminta Perhatikan Tender Dengan Perusahaan Siluman

Kapanlagi.com - Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Perseroan Terbatas (Pansus RUU PT) DPR dalam rapat kerja di DPR Kamis mendapat masukan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengenai perlunya memperhatikan perkara tender yang melibatkan perusahaan-perusahaan fiktif. Dalam rapat kerja yang dipimpin Ketua Pansus RUU PT Akil Mochtar, Ketua KPPU Syamsul Maarif meminta Pansus untuk memperhatikan perkara tender dengan perusahaan siluman.
"Hal ini perlu diatur dalam UU PT sebab beberapa kali ditemukan perusahaan siluman yang memenangi tender dengan nilai milyaran rupiah," katanya. KPPU mempunyai pengalaman pahit soal ini. Sebuah perusahaan yang memenangi tender dalam akte keikutsertaannya dalam tender terdapat alamat perusahaan yang jelas tapi ketika dicek di lapangan tidak ada perusahaan yang dimaksud. "Bahkan pemilik alamat yang tertulis di akte tidak mengenal perusahaan yang dimaksud. Hal ini harus diatur dalam UU PT agar tidak ada lagi perusahaan fiktif yang menang dalam tender," katanya. Menurut dia, UU PT harus memasukkan persyaratan untuk mencantumkan alamat perusahaan peserta tender untuk mencegah terulangnya penipuan dalam pelaksanaan tender. Ketua KPPU juga mengingatkan Pansus RUU PT untuk memasukkan aturan mengenai pelarangan rangkap jabatan direksi atau komisaris untuk lebih dari satu perusahaan yang mempunyai bidang usaha yang sama. "Pemilikan saham mayoritas untuk lebih dari satu perusahaan yang mempunyai bidang usaha yang sama juga perlu dijadikan pasal dalam UU PT," tambahnya.
Seseorang juga tidak diperkenankan untuk menjadi pendiri bagi lebih dari satu perusahaan yang mempunyai bidang usaha yang sama, tambah Ketua KPPU. Dia mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan bidang komunikasi massa perlu diawasi lebih cermat mengenai rangkap pemilikan dan pendiriannya. Dalam rapat kerja itu Pansus RUU PT juga mendapat masukan dari pengurus Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). UU PT perlu mengatur masalah pelaporan keuangan yang kredibel dan sanksinya jika terjadi manipulasi atas laporan keuangan perusahaan, demikian salah satu masukan dari IAI. (*/cax)

31 Perusahaan Fiktif Menerima 1,3 Trilyun Kredit BDB

Senin , 08/08/2005 15:46 WIB
Sidang Korupsi Rp 1,3 T Bank Dagang Bali Digelar
Nala Edwin - detikInet
-->Jakarta, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menggelar sidang pertama korupsi di Bank Dagang Bali (BDB) yang merugikan negara sebesar Rp 1,3 triliun. Surat dakwaan atas terdakwa pemilik atau pemegang saham BDB, I Gusti Ngurah Oka Budiana (44), dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Syaiful Thaher, di PN Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Senin (8/8/2005).Di hadapan Ketua Majelis Hakim Efran Basuni, JPU menilai, Budiana telah menyalahgunakan jabatannya sebagai pemilik maupun pemegang saham BDB. Pada tahun 2000, terdakwa membuat 31 perusahaan fiktif. Perusahaan fiktif itu kemudian digunakan terdakwa untuk mengajukan kredit ke BDB. Terdakwa pun memerintahkan BDB agar permohonan kredit 31 perusahaan fiktif tersebut dikabulkan.
Perintah itu tetap disampaikan, walaupun tidak memenuhi syarat. Persyaratan kredit yang diajukan itu tidak melampirkan laporan keuangan yang sudah diaudit oleh akuntan publik dan surat perintah kerja.Modus lainnya, terdakwa menggunakan dana BDB yang ditempatkan pada bank lain dengan cara mengajukan kredit untuk 40 perusahaan fiktif. Akibat perbuatan Oka, BDB berstatus 'bank dalam likuidasi' pada Juli 2004. BDB juga tidak memenuhi Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal. Sesuai dengan ketentuan, CAR minimal 6 persen, sedangkan pada Juni 2003 CAR BDB bernilai negatif. Akhirnya, BDB ditetapkan dalam pengawasan khusus, alias bangkrut. KaburDalam kasus BDB ini ada seorang terdakwa yang kabur, yakni Kepala Cabang BDB Panglima Polim, Jakarta Selatan, I Nengah Suardana. I Nengah dan empat tersangka lainnya sempat ditahan Mabes Polri sejak 24 April 2004. Keempat terdakwa lain yang saat itu juga ditahan yakni, FB Surendro (mantan Direktur Utama Bank Asiatic), I Made Budiana SE (mantan Direktur Dana Marketing Bank Asiatic), dan Gde Wibawa (mantan Direktur Keuangan BDB). (ism/)